Filosofi Naga Jawa di Gift Pack Bakpiaku

Indonesia memiliki keragaman suku, adat, dan budaya yang menarik untuk dipelajari. Keragaman ini pula yang menjadi daya tarik bagi banyak wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Bahkan dalam beberapa adat tradisi terdapat makhluk-makhluk mitologi yang erat kaitannya dengan nilai budaya.

Hal ini bisa dijumpai dalam tradisi yang ada di Bali. Pada beberapa acara adat hingga pertunjukan bisa dengan mudah kita jumpai tokoh hanoman dan juga barong. Kedua makhluk ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat Bali yang menganut agama Hindu. Hal serupa juga dimiliki oleh daerah lain tak terkecuali Yogyakarta yang memiliki makhluk mitologi naga.

Filosofi Naga Dalam Budaya Jawa

Kebudayaan Jawa memiliki banyak keragaman simbol yang dituangkan dalam prasasti, candi, hingga keraton. Hal ini tidak lepas dari era atau masa yang terjadi dalam masyarakat mulai dari masa kerajaan hindu – budha hingga kerajaan mataram islam seperti yang terdapat di Jogja. Dalam beberapa bangunan keraton Jogja juga bisa kita temui karakter naga. Dalam budaya jawa, naga menjadi makhluk mitologi yang diyakini menjadi pelindung atau pengayom.

Naga di Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta menjadi salah satu bangunan yang memiliki nilai sejarah sangat penting. Keberadaan naga di dalam bangunan keraton bahkan dijadikan sebagai penanda berdirinya Keraton Yogyakarta. Terdapat dua ekor naga saling membelakangi dengan ekor saling terlilit di Regol Kemagangan yang kemudian disebut sebagai Dwi Naga Rasa Tunggal. Perwujudan naga ini merupakan candrasengkala atau penanda berdirinya Keraton Yogyakarta merujuk pada tahun 1682 jawa (1756M).

Berkat nilai-nilai luhur yang otentik dari budaya di Indonesia ini pula kemudian Bakpiaku berinovasi dengan mengeluarkan kemasan khusus berupa gift pack. Dengan mengangkat nilai budaya dan simbol naga yang merepresentasikan pesan positif seperti kemurnian hingga harapan, berikut adalah filosofi naga yang terdapat dalam gift pack Bakpiaku:

Dwi Naga Abipraya

Dwi Naga Abipraya diambil dari kata Dwi Naga Rasa Tunggal dalam bahasa jawa yang berarti Dua Naga yang Bersatu Rasa dan Abipraya dalam bahasa sanskerta yang berarti Harapan, Tujuan, Cita-Cita.

Dwi Naga Abipraya dapat diartikan sebagai dua naga yang bersatu rasa dan keduanya memiliki harapan atau tujuan yang sama, menggambarkan karakter dua naga yang kokoh dan kuat walaupun terkadang memiliki pemikiran yang berbeda (ilustrasi: kepala naga yang tidak saling berhadapan) tetapi tetap memiliki rasa kebersamaan untuk mencapai tujuan yang sama.

Sebagai simbolisasi makhluk dalam kaitannya dengan konsep kehidupan, keduanya memuat semangat “tunggal” dan “wani” yang dapat dipahami bahwa dengan semangat kemanunggalan, yang berarti berani menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.

Motif kawung pada sisik Dwi Naga Abipraya

Sisik Naga mempunyai motif batik kawung, sebagai pelindung atas kemurnian dan kesucian. Bagian hiasan kepala seperti jamang (mahkota) dan sumping (perhiasan yang di letakkan pada telinga), juga dapat ditemukan makna simbolik. Dalam konteks Jawa, mahkota sangat berkaitan dengan raja, yang dipercaya sebagai titisan dewa. Dalam hal ini, mahkota menjadi semacam pembeda antara naga dengan ular biasa. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa naga merupakan raja dari segala jenis ular, memiliki intelektualitas, dan keistimewaan lainnya. Sebagai simbol kesuburan/keberkahan dan wujud atas rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dwi Naga Abipraya mempunyai makna sebagai ikon peradaban yang tetap melestarikan pedoman luhur dan prinsip etika orang jawa, sekaligus menjadi ruang tumbuh bagi peradaban baru, sesuai dengan karakter masyarakat Yogyakarta yang mempunyai rasa kebersamaan yang kuat sekaligus memiliki tujuan yang baik.

Ornamen

Makna fikosofi dari bunga melati & burung perkutut

Bunga Melati

Bunga ini dianggap sebagai simbol petuah. Pepatah jawa mengatakan “rasa melat saka njero ati” (setiap orang hendaknya melibatkan hati dalam melakukan segala hal).

Burung Perkutut

Sejak Juni tahun 1990, Burung Perkutut sudah menjadi ikon Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kukila itu berarti manggung atau manuk anggung-anggungan. Dalam hal ini adalah kicauan burung perkutut. Kata manuk itu sendiri terdiri dari Ma (manjing) dan Nya (nyawa), yang berarti hidup. Karena itu para priyayi dulu sering memberi wejangan kepada anak cucunya, ”Aja mung ngoceh, nanging manggunga.” Tegese yen ngomong kudu sing mentes. Jika diartikan “kalau berbicara harus yang berisi/bermakna dan bisa membuktikan setiap omongannya”.

Demikian nilai-nilai filosofi dari tiap representasi ikon yang terdapat dalam kemasan khusus gift pack terbaru dari Bakpiaku. Jangan lupa untuk lengkapi liburanmu di Jogja dengan membawa pulang oleh-oleh terbaik untuk diberikan ke orang spesial.

Read Comments

Leave a comment

id_IDBahasa Indonesia